adalah cara yang digunakan untuk
membuat makanan
memiliki daya simpan yang lama dan mempertahankan sifat-sifat fisik dan kimia makanan.
Dalam
mengawetkan makanan harus diperhatikan jenis bahan makanan yang diawetkan,
keadaan bahan makanan, cara pengawetan, dan daya tarik produk pengawetan
makanan.
Teknologi
pengawetan makanan yang dikembangkan dalam skala industri
masa kini berbasis pada cara-cara tradisional
yang dikembangkan untuk memperpanjang masa konsumsi
bahan makanan.
Tujuan
Sejak
manusia dapat berbudidaya tanaman dan hewan, hasil produksi panen menjadi berlimpah.
Namun bahan-bahan tersebut ada yang cepat busuk, makanan yang
disimpan dapat menjadi rusak, misalnya karena oksidasi
atau benturan.
Contohnya lemak
menjadi tengik karena mengalami reaksi oksidasi radikal bebas.
Untuk menangani hal tersebut, manusia melakukan pengawetan pangan,
sehingga bahan makanan dapat dikonsumsi kapan saja dan dimana saja, namun
dengan batas kadaluarsa, dan kandungan
kimia dan bahan makanan dapat dipertahankan. Selain itu, pengawetan makanan juga dapat membuat bahan-bahan yang tidak
dikehendaki seperti racun
alami dan sebagainya dinetralkan atau disingkirkan dari bahan makanan.
Cara
pendinginan di lemari pendingin
merupakan salah satu cara untuk mengawetkan makanan
Cara
pengawetan bahan makanan dapat disesuaikan dengan keadaan bahan makanan,
komposisi bahan makanan,
dan tujuan dari pengawetan.
Secara garis besar ada dua cara dalam mengawetkan makanan, yaitu fisik serta
biologi dan kimia.
Fisik
- pemanasan. Teknik ini dilakukan untuk bahan padat, namun tidak efektif untuk bahan yang mengandung gugus fungsional, seperti vitamin dan protein.
- pendinginan. Dilakukan dengan memasukkan ke lemari pendingin, dapat diterapkan untuk daging dan susu.
- pengasapan. Perpaduan teknik pengasinan dan pengeringan, untuk pengawetan jangka panjang, biasa diterapkan pada daging.
- pengalengan. Perpaduan kimia (penambahan bahan pengawet) dan fisika (ruang hampa dalam kaleng).
- pembuatan acar. Sering dilakukan pada sayur ataupun buah.
- pengentalan dapat dilakukan untuk mengawetkan bahan cair
- pengeringan, mencegah pembusukan makanan akibat mikroorganisme, biasanya dilakukan untuk bahan padat yang mengandung protein dan karbohidrat
- pembuatan tepung. Teknik ini sangat banyak diterapkan pada bahan karbohidrat
- Irradiasi, untuk menghancurkan mikroorganisme dan menghambat perubahan biokimia
Biologi dan kimia
Pengawetan
makanan secara biologi dan kimia secara umum ditempuh dengan penambahan senyawa
pengawet, seperti
- penambahan enzim, seperti papain dan bromelin
- penambahan bahan kimia, misalnya asam sitrat, garam, gula.
- pengasinan, menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk makanan
- pemanisan, menaruh dalam larutan dengan kadar gula yang cukup tinggi untuk mencengah kerusakan makanan
- pemberian bahan pengawet, biasanya diterapkan pada bahan yang cair atau mengandung minyak. Bahan pengawet makanan ada yang bersifat racun dan karsinogenik. Bahan pengawet tradisional yang tidak berbahaya adalah garam seperti pada ikan asin dan telur asin, dan sirup karena larutan gula kental dapat mencegah pertumbuhan mikroba.[3] Kalsium propionat atau natrium propionat digunakan untuk menghambat pertumbuhan kapang, asam sorbat menghambat pertumbuhan kapang dalam keju, sirup dan buah kering.
Prinsip
- Mencegah atau memperlambat laju proses dekomposisi (autolisis) bahan pangan
- Mencegah kerusakan yang disebabkan oleh faktor lingkungan termasuk serangan hama
- Mencegah atau memperlambat kerusakan mikrobial. Bahan kimia yang digunakan sebagai pengawet juga diharapkan dapat mengganggu kondisi optimal pertumbuhan mikroba. Ditinjau secara kimiawi, pertumbuhan mikroba yang paling rawan adalah keseimbangan elektrolit pada sistem metabolismenya. Karena itu bahan kimia yang digunakan untuk antimikroba yang efektif biasanya digunakan asam-asam organik. Cara yang dapat ditempuh untuk mencegah atau memperlambat kerusakan mikrobial adalah :
- mencegah masuknya mikroorganisme (bekerja dengan aseptis)
- mengeluarkan mikroorganisme, misalnya dengan proses filtrasi
- menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme, misalnya dengan penggunaan suhu rendah, pengeringan, penggunaan kondisi anaerobik atau penggunaan pengawet kimia
- membunuh mikroorganisme, misalnya dengan sterilisasi atau radiasi.
Pengawet
Makanan Alami
Bahan pengawet makanan alami mengambil bahan dasar dari alam yang cukup banyak tersedia di sekitar kita. Bahan pengawet makanan itu diantaranya air ki, kunyit, chitosan dan asap cair.
Air ki merupakan salah satu bahan perngawet alami yang menggunakan bahan dasar jerami. Cara penggunaannya cukup sederhana. Jerami dibakar hingga menjadi abu, lalu abu jerami dimasukkan ke dalam wadah yang diberi air dan rendam sekitar 1 sampai 2 jam. Selanjutnya disaring sehingga sisa pembakaran jerami tidak bercampur dengan air. Air sisa pembakaran jerami inilah yang disebut air ki. Air ki mengandung antiseptik yang dapat membunuh kuman, dengan pemberian air ki, makanan dapat bertahan lebih lama, seperti pada mi basah yang mampu bertahan sampai dua hari. (Ida Soeid, 2006)
Bahan pengawet makanan alami yang lain adalah kunyit. Kunyit dapat digunakan sebagai pengawet makanan karena berfungsi sebagai antibiotik, antioksidan, antibakteri, anti radang dan antikanker. Di samping itu kunyit juga berfungsi sebagai pewarna alami, seperti yang biasa digunakan pada tahu. Kunyit basah kandungan utamanya adalah kurkuminoid 3-5 %, sedangkan pada kunyit ekstrak, kandungan kurkuminoid mencapai 40-50%. Untuk penggunaan kunyit disarankan agar tidak melalui pemanasan, terkena cahaya dan lingkungan yang basah. Sebaiknya kunyit ditumbuk, digiling dan diperas airnya. (Ida Soeid, 2006).
Chitosan merupakan produk turunan dari polimer chitin, yakni produk samping (limbah) dari pengolahan industri perikanan, khususnya udang dan rajungan. Limbah kepala udang mencapai 35-50% dari total berat udang. Kadar chitin dalam berat udang berkisar antara 60-70% dan bila diproses menghasilkan sekitar 15-20%. Chitosan mempunyai bentuk mirip dengan selulosa.
Struktur Chitosan
Proses utama dalam pembuatan chitosan meliputi penghilangan protein dan kandungan mineral melalui proses kimia yang disebut deproteinasi dan demineralisasi yang masing-masing dilakukan dengan menggunakan larutan basa dan asam. Selanjutnya chitosan diperoleh melalui proses deasetilasi dengan cara memanaskan dalam larutan basa. Chitosan sedikit larut dalam air dan mempunyai muatan positif yang dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain serta mudah mengalami degradasi secara biologi dan tidak beracun, selain itu chitosan dapat berfungsi sebagai pelapis (coating), agar tidak dihinggapi lalat dan menghambat pertumbuhan bakteri (Linawati, 2006). Tetapi kekurangan dari penggunaan chitosan ini adalah pembuatannya yang cukup rumit sehingga sulit untuk dilakukan dalam skala kecil.
Sumber :